Kamis, 27 November 2008

Panitia Renovasi NH Front Office



Sebelumnya saya harus minta maaf kepada pembaca yg ahli desain interior. ini adalah ide saya untuk mengubah tatanan kantor NH yang (maaf) 'berantakan' menjadi lebih rapi dan enak dipandang. elemen yang diperlukan sebenarnya cukup sederhana, yaitu: kayu papan, atau tripeks, mebel meja conter, kursi dan karpet. Acesoris berupa tulisan bisa dibuat dengan White Stiker, Stiker Cutting, logam, kayu, atau yang paling murah adalah gabus warna. kalau soal biaya saya belum bisa memuat di sini.. karena belum konsultasi dengan ahli pembuat mebel.. saya tunggu kritik dan masukannya ya... (desain dibuat dengan corelDrawx3 dan photoshop, sumber image: google.com)

Senin, 13 Oktober 2008

Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, Masihkah kita menyembah pada-Nya ?


Pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah diprbolehkan menyembah Allah itu lantaran mengharapkan pahala-Nya dan lantaran takut pada siksaan-Nya ?. Dengan kata lain, untuk menghindari neraka dan menggapai surga ?
Kaum sufi mengecam orang yang menyembah Allah dengan tujuan seperti di atas. Mereka berkata “Tidak selayaknya seorang hamba itu beribadah kepada Allah dan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya lantaran takut pada siksaan-Nya, atau lantaran mengharapkan pahala-Nya. Sungguh orang yang seperti ini hanya berdiri disertai dengan tujuan dan keuntungan bagi dirinya, tapi kecintaan kepada Allah benar-benar enggan dan tidak menyertainya. Sesungguhnya yang mencintai itu tidak memiliki bagian bersama yang dicintai. Maka, kesetaraannya bersama bagian keuntungan itu merupakan cela dalam kecintaannya. Sebagimana pengharapannya pada pahala itu merupakan pandangan bahwa dia berhak mendapatkan pahala yang harus diberikan oleh Allah lantaran amalnya.”
Dalam hal ini, terdapat dua bahaya: pandangannya terhadap pahala, dan persangkaan baiknya terhadap amal perbuatannya. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali mensterilkan ibadah, kepatuhan terhadap perintah dan larangan dari segala cela. Tapi hendaknya ia melaksanakannya dengan penuih pengagungan terhadap zat yang memerintah lagi melarang.
Dialah yang berhak disembah dan diagungkan kehormatan-kehormatan-Nya. Maka , zat-Nyalah yang berhak atas ibadah, pengagungan dan pemuliaan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam atsar Illahi, “Seandainya aku tidak menciptakan surga tidak pula neraka, apakah lantas Aku tidak berhak di sembah?”. Ada uyang berpendapat bahwa jiwa yang suci lagi tinggi itu menyembah Allah karena Dia berhak disembah, dimuliakan, dicintai dan diagungkan. Dia pada zat-Nya berhak untuk disembah. Mereka berkata, “Sikap hamba terhadap Tuhannya itu bukanlah seperti pekerja upahan yang buruk, jika diberi upahnya dia bekerja, tapi bila tidak diberi dia tidak bekerja. Ini adalah hamba upah, bukan hamba cinta dan kehendak.” Di antara ulama ada yang menolak perkataan tersebut, dan menggolongkan sebagai ungkapan dari kekacauan mereka. Dia tidak melihat adanya kejanggalan atau kekurangan pada ibadah kepada Allah lantaran ketakutan dan pengharapan, kecintaan dan kekhawatiran. Para ulama ini berhujah dengan keadaan para nabi, rasul, orang-orang shidiqin dan shalih. Doa dan pujian terhadap mereka – di dalam kitab Allah – lantaran ketakutan mereka terhadap neraka dan pengharapan mereka terhadap surga. Sebagaimana dinyatakan Allah mengenai hamba-hamba khusus-Nya yang disembah oleh orang-orang musrik serta dijadikan tempat memohon bukan kepada Allah atau memohon kepada mereka sekaligus Allah,

“orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”(al-Isra: 57)
Allah SWT menyebutkan hamba-hamba-Nya yang dimuliakan-Nya dengan menisbatkan nama-nama mereka pada nama-Nya “arrahman”. Allah menamakan mereka “ibbadurahman” dan memuji mereka dengan amal perbuatan mereka yang paling baik. Lalu di antaranya Allah menjadikan permohonan perlindungan mereka dengannya dari neraka. Allah SWT berfirman,

“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahanam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".(Al-Furqaan: 65)
Allah memberitahukan bahwasanya mereka bertawasul (menggunakan perantara) kepada-Nya dengan keimanan mereka supaya Allah menyelamatkan mereka dari neraka. Allah SWT berfirman ,

“Yaitu) orang-orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,"(ali Imran:16)
Mereka menjadikan perantara keimanan sebagai perantara yang paling besar kepada Allah agar menyelamatkan mereka dari neraka.
Masih banyak lagi hujjah al-Qur’an yang menyatakan pengharapan surga disertai dengan berharap terhindarnya dari surga, seperti dalam surat Ali-Imran 190-195, surat Asy-Syu’araa 82-87. yang kesimpulannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang dijanjikan melalui lisan para rasul itu adalah surga yang mereka minta. Allah SWt memberitahukan kepada kita tentang surga bahwasannya surga itu merupakan janji yang pasti Dia tepati. Maksudnya, janji surga yang diminta oleh para hamba dan wali-Nya.
Nabi SAW memerintahkan kepada umatnya agar memohon kepada Allah pada waktu yang dikabulkan (setelah adzan) kedudukan yang tinggi di surga dan memberitahukan juga bahwa siapa yang memohonkan kedudukan yang tinggi itu bagi beliau, maka orang tersebut akan mendapatkan syafaat beliau.
Sulaim al-Anshari berkata kepada beliau, “Saya memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka. Aku tidak bisa berdendang denganmu, tidak pula berdendang dengan Mu’adz!” Beliau SAW berkata, “Aku dan Mu’adz di sekitarnya, kami berdendang!”
Di dalam hadist shahih, tentang para malaikat sayyarah bahwasannya Allah SWT bertanya kepada mereka tentang hamba-hamba-Nya, padahal Dia lebih tahu tentang mereka. Para malaikat itu berkata, “kami mendatangi-Mu dari tempat hamba-hamba-Mu. Mereka bertahlil (mengucapkan laa ilaaha illallah) kepada-Mu, memuji-Mu, dan mengagungkan-Mu. “Allah SWT berkata, “apakah mereka melihatKu?” Para malaikat menjawab, “Tidak, ya Tuhan kami, mereka tidak melihat-Mu.” Allah SWT berkata, “Bagaimana jika mereka melihatKu?” para malaikat menjawab, “seandainya mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih giat dalam mengagungkan-Mu.”
Para malaiakat berkata , “Ya Tuhan kami, mereka memohon surga kepada-Mu”. Allah bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” “Tidak, demi keagungan-Mu, mereka tidak pernah melihatnya,” jawab para malaikat. Allah berkata, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Para malaikat berkata, “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka akan lebih giat dalam berusaha untuk menggapainya.”
Para malaikat melanjutkan ertanyaan, “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari neraka” Allah SWT berkata, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Malaikat berkata, “Tidak, demi keagungan-Mu, mereka tidak pernah melihatnya!” Allah berkata, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” para malaikat menjawab, “Seandainya mreka melihatnya, niscaya mereka lebih giat dalam menghindarkan diri darinya.” Allah lantas berkata, “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka, dan memberikan kepada mereka apa yang mereka pinta. Aku melindungi mereka dari apa yang mereka mohonkan perlindungan kepadaKu.”
Al-Qur’an dan Sunnah penuh dengan pujian terhadap hamba-hamba-Nya, dan para wali-Nya dengan permohonan surga beserta tingkatannya, memohon perlindungan dari neraka dan takut akan azabnya.
Nabi SAW berkata kepada para sahabatnya, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari neraka.” Lantas berkata sahabat yang memohon kepadanya, agar di surga kelak dia dekat dengan Nabi SAW, “bantulah aku terhadap dirimu dengan memperbanyak sujud.”
Para ulama berkata,” Beramal untuk meraih surga dan keselamatan dari neraka adalah tujuan yang ditetapkan oleh pembuat syariat pada umat-Nya, agar surga dan neraka tersebut selalu di dalam ingatan mereka dan tidak melupakannya. Dan karena beriman terhadap adanya surga dan neraka itu merupakan syarat untuk meraih keselamatan, serta beramal untuk meraih surga dan selamat dari neraka, maka keimanan di sini merupakan keimanan yang murni.”
Nabi SAW memotivasi sahabat serta umatnya supaya meraih surga. Beliau menceritakan dan menerangkan kepada mereka supaya mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraihnya. Beliau berkata, “Adakah yang bersiap-siap memburu surga? Sesungguhnya suga itu, demi Tuhan Ka’bah, cahaya yang berkilauan, pohon wangi yang bergoyang, istri yang cantik, buah yang matang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir tiada henti.” Para sahabat lantas berkata, “Ya Rasulullah, kami adalah para pemburu surga.” Beliau berkata, “Katakanlah, Insya Allah, jika Allah menghendaki.”
Lalu, bagaimana mungkin amal perbuatan untuk meraih pahala dan lantaran takut pada siksa dapat dinyatakan tidak benar / padahal Rasul SAW mendorong agar melakukannya? Dan para ulama mengatakan bahwa Allah SWT menyukai pada hamba-hamba-Nya bila mereka memohon surga kepada-Nya, dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka-Nya. Sesungguhnya Allah suka bila diajukan kepada-Nya suatu permohonan. Siapa yang tidak memohon kepada-Nya, maka Dia memurkainya. Dan permohonan yang paling besar ialah surga. Sedangkan yang paling besar perlindungan yang dipinta dari-Nya itu adalah permohonan perlindungan dari neraka.
Mereka berkata, “Jika hati itu hampa dari surga dan neraka, mengharapkan surga dan menghindar dari neraka, maka luluhlah tekatnya, lemahlah semangatnya, dan reduplah motivasinya. Bila hati itu semakin giat dalam berusaha dan beramal dalam meraih surga, maka motivasinya itu semakin lebih kuat, semangatnya lebih tinggi, dan usahanya lebih sempurna. Ini merupakan perkara yang dapat diketahui dan dimaklumi dengan perasaan.”
Mereka berkata, “Seandainya hal ini tidak menjadi tuntutan pembuat syariat, niscaya Dia tidak menceritakan tentang surga kepada hamba-hamba-Nya, memperindah dalam pandangan mereka, mengajukan kepada mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang detail-detailnya yang dapat dijangkau oleh akal mereka. Dan yang selebihnya, Dia memberitahukannya secara global sebagai stimulus dan motivasi aagar mereka semakin giat dalam meraihnya.”
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim bersikap pertengahan antara golongan sufi dan sebagian ulama umat ini yang menentang serta menyalahkan pendapat kaum sufi. Setelah menceritakan sekaligus menyanngah perkataan mereka, ibnu Qayyim berkata, “ Pertanyaan yang lebih tepat dalah: surga itu bukanlah sekedar nama pepohonan, buah-buahnan, makanan, minuman, bidadari, sungai, dan istana. Kebanyakan manusia salah dalam memahami apa yang disebut surga. Sesunguhnya surga itu adalah sebutan bagi tempat kenikmatan yang mutlak lagi sempurna. Di antara kenikmatan surga yang paling besar adalah kenikmatan memandang Allah Yang Mulia, mendengar perkataan-Nya, kebahagiaan lantaran dekan dengan-Nya, dn amendapat keridhaan-Nya. Kenikmatan yang ada di dalamnya sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan lain, seperti dalam hal makanan, minuman, dan gambar-gambar. Keridhaan-Nya yang paling sedikitpun, itu sangat besar bila dibandingkan dengan surga beserta apa yang ada di dalamnya. Sebagaimana dikatakan Allah SWT, “Dan keridhaan-Nya lebih besar.” (At-Taubah : 72)
Allah menyebutkan keridhaan di sini dengan lafadz yang umum (nakirah0 dalam bentuk penetapan. Maksudnya apa pun bentuk kridhaan Allah terhadap hamba-Nya, itu lebih besar daripada surga.”
Dalam hadist sahih –hadist tentang melihat Allah-, “Demi Allah, tidak ada pemberian Allah kepada mereka yang lebih disukai daripada nikmat melihat wajah-Nya” Di dalam hadist lain, “Sesungguhnya jika Allah SWT menampakkan diri pada mereka, dan mereka melihat wajah-Nya dengan mata dan kepalanya sendiri, mereka pun lupa dengan kenikmatan lain yang ada pada mereka. Mereka terlena dan tidak memperhatikan lagi nikmat yang lainnya itu.”
Ibnu Qayyim berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa beginilah kejadiannya. Itu tentu termasuk yang terdetik dalam hati, atau terbesit di dalam khayalan. Lebih-lebih pada saat para pecinta itu memperoleh keberuntungan di sana dengan kesertaan cinta. Sesungguhnya seseorang itu bersama orang yang dicintainya. Adakah nikmat, kesenangan, kebahagiaan dan keberuntungan yang setera dengan nikmat bersama dengan pihak yang dicintai, kesenangan dan kebahagiaan itu ?
Ini, demi Allah, adalah ilmu yang diburu oleh para pecinta dan panji yang didambakan oleh ahli ma’rifah (memiliki pengetahuan tentag Allah). Dia itu adalah ruh atas penamaan dan kehidupan surga. Dengannya surga menjadi membahagiakan dan dengannya surga ditegakkan.
Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ia tidak menyembah Allah lantaran mencari surga-Nya dan bukan lantaran takut kepada neaka-Nya ? Demikian juga neraka, semoga Allah melindungi kita darinya. Sesungguhnya bagi penghuninya yang tersiksa lantaran tidak dapat melihat Allah, dihinakan-Nya, dimurkai, dilaknat dan dijauhkan dari-Nya, itu lebih besar bagi mereka daripada kobaran api neraka yang menghanguskan badan mereka. Yang menjadi dambaan para nabi, para rasul, shidiqin, syuhada, dan orang-orang shalih adalah surga. Lalu yang sangat dihindari oleh mereka adalah neraka. (wallahu a’lam..) (sumber foto: image Bank... gak tau dari mana)

KEMISKINAN LAGI


Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ia sudah menjadi realitas sistem / struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.
Tata nilai dan sistem / struktur sosial ekonomi serta prilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu sendiri.

Masalah Kemiskinan.
Kemiskinan rakyat Indonesia tidak disebabkan mereka sejak semula tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka. Mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah dihancurkan oleh mereka. Dan proses penghancuran kesempatan ini telah berlangsung sejak dulu sampai sekarang, dimulai sejak zaman feodalisme kerajaan, zaman kolonialisme dan akhirnya zaman ketergantungan pada sekarang ini. Secara spesifik, keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar rakyat indonesia disebabkan akibat proses penghancuran kesempatan yang terjadi akibat proses eksploitasi yang berbentuk sebagai berikut:
• Pertukaran yang tidak adil dalam perdagangan barang-barang.
• Pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa pekerja.
• Pengenaan pungutanyang relatif memberatkan dari penguasa kepada rakyat kecil.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi sebagai akibat intensifikasi faktor modal dalam proses produksi di berbagai bidang, merupakan proses tambahan yang mempersempit kemungkinan naiknya taraf hidup massa miskin. Proses eksploitasi mengakibatkan timbulnya pengalihan surplus nilai dari pihak pekerja atau massa rakyat kepada kelas diatasnya pada proses produksi, terutama para pemilik modal. Proses ini telah berjalan ratusan tahun di Indonesia akhirnya menimbulkan massa miskin yang praktis tidak mempunyai harta produktif atau aset lainnya yang dapat menimbulkan pendapatan. Faktor badaniah yang mereka punyai pun tidak layak disebut sebagai human capital. Faktor badaniah ini cenderung sebagai faktor yang tidak produktif. Akhirnya massa miskin sangat tergantung pada pemilik harta produktif, dan massa miskin cenderung menyerah sepehuhnya terhadap ‘kebaikan hati’ pemilik harta produktif.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi mengakibatkan pengangguran terbuka dan terselubung. Hal ini adalah komponen utama yang menimbulkan kemiskinan ditanggung bersama di antara mereka. Dua jenis pengangguaran ini mengakibatkan rasio ketergantungan (depedency ratio) yaitu perbandingan di antara penduduk aktif dan pasif menjadi tinggi. Di Indonesia, depedency ratio yang tinggi ini dialami oleh golongan miskin. Kemiskinan ditanggung bersama (shared proverty) dan depedency ratio yang tinggi, tidak terjadi di golongan lain. Dalam situasi inilah maka timbul lingkaran kemiskinan bersama-sama dalam lingkaran kelebihan. Lingkaran kemiskinan dapat diterangkan sebagai berikut : “oleh karena kemiskinan maka produktivitas dan pada gilirannya pendapatan menjadi rendah disebabkan kemiskinan membuat daya tawar maupun daya kerja lemah” oleh karena produktivitas atau pendapatan rendah maka kemiskinan timbul. Demikian seterusnya, lingkaran ini berjalan sehingga kemiskinan cenderung bertambah parah, tatkala keluarga miskin bertambah jumlahnya, dari waktu ke waktu.
Situasi kemiskinan yang ditanggung bersama tersebut sudah tidak dapat dikatakan menimbulkan keharmonisan di pedesaan, oleh karena kemiskinan yang ditanggung bersama ini hanya berjalan di kalangan massa miskin membuat kemiskinan melembaga sehingga menimbulkan kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan di kalangan massa miskin ini membuat lingkaran kemiskinan merupakan a built-in vicious circle, sesustu lingkaran yang tak berujung yang ditumbuhkan dari dalam. Keadaan ini yaitu keadaan kultur miskin dan statis ini menimbulkan kesan bahwa massa miskin itu sebetulnya tidak ingin mengubah nasib mereka. Mereka pandang kemiskinan sebagai atribut permanen untuk mereka, sehingga mereka seringkali tidak tergerak, kenapa hal tersebut mesti dipersoalkan. Lingkaran kemiskinan yang parahpun seolah olah menjadi fenomena permanen. Bersama dengan itu masyarakat yang pasif menjadi fenomena yang permanen. Sebagai masyarakat yang tidak produktif mereka tidak mempunyai ambisi lagi dan statis gerakannya.
Sementara itu kalangan yang memiliki dan menguasai harta-harta produktif dan kesempatan-kesempatan atau fasilitas yang dapat menimbulkan pemilikan dan penguasaan harta-harta produktif mengalami lingkaran yang berlebihan. Pemilikan atau penguasaan harta-harta produktif menimbulkan kapasitas untuk memperoleh kesempatan untuk meraih pendapatan yang lebih tinggi. Dengan pendapatan yang lebih tinggi ini, selain konsumsi lebih tinggi dan baik kualitasnya, juga menimbulkan surplus yang akhirnya memperkokoh dan memperluas kepemilikan faktor-faktor produksi. Hal tersebut menimbulkan pemupukan human capital secara terus menerus pada kaum pemilik harta produktif, sehingga golongan miskin makin jauh tertinggal dan akan terus mengalami perlakuan semena-mena dari golongan kaya.

Gerakan Kebudayaan.
Kedalaman masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kehidupan sejumlah rakyat kita, menuntut perlunya pengembangan upaya-upaya yang dapat mempengaruhi perilaku pembentuk sitem dan tata nilai kemasyarakatan, bukan sekedar yang menyentuh arus atas kehidupan konkret saja. Persoalan ini artinya, tidak bisa ditangani hanya sebagai fenomena ekonomi,. Juga tidak bisa dip[andang sebagai urusan pemerintah dengan p[rogram pembangunan yang ada, sungguhpun untuk sebagian dari banyak hal bisa diupayakan. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dan atau gerakan perubahan kebudayaan.
Dalam hubungan ini, perlu dikembangkan upaya yang mengartikan gerakan kebudayaan sebagai keseluruhan upaya pengembangan swadaya masyarakat dalam mengatasi dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan, dalam kerangka proses belajar terus-menerus dan sesuai dengan pengalaman kesejahteraan serta peluang penerimaan masyarakat, ke arah transformasi perilaku aktual, struktur dan tata niali kemasyarakatan.
Pusat perhatian gerakan kebudayaan ditunjukkan pada pembentukan situasi dan pengalaman empiris masyarakat, melalui serangkaian kegiatan konkret dalam pengatasan dan pemenuhan minat, kebutuhan dan kepentingan aktual rakyat, bukan sekedar melalui gerakan retorik. Dengan kata lain, gerakan kebudayaan selalu diwarnai secara permanen oleh berbagai langkah-langkah kecil dalam skala masal dan tempo yang panjang, sedemikian rupa sehingga dapat berperan sebagai:
• Referensi hidup sehari-hari masyarakat.
• Selanjutnya akan ikut mewarnai peluang penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang lebih dinamis.
• Mempengaruhi pembentukan sistem struktur kemasyarakatan.
• Secara keseluruhan akan berpengaruh pada pembentukan tata nialai dan corak apresiasi keagamaan masyarakat ke arah yang lebih fungsional.
Gerakan kebudayaan, karena itu, bukan gerakan gegap gempita dalam mengumandangkan keyakinan, bukan pula sekedar penasehatan tentang apa yang di pandang benar. Ia adalah gerakan yang memihak pada kepentingan rakyat banyak, kaum duafa , dan langsung berwujud pelibatan dalam permasalahan aktual dan kecil-kecil dalam masyarakat, untuk mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan kehidupan. Ia pada hakikatnya adalah gerakan dakwah, karena dakwah berarti usaha untuk mengubah keadaan yang tidak baik menjadi yang baik dan lebih baik. Karena itu ia harus didasari pada moral agama. (Nb. Ini makalah saya saat diskusi mata kuliah ISD (Ilmu Sosial Dasar) di Fak. Sastra UNS, entah tahun berapa.. foto: Image Bank - unknow)

Jumat, 10 Oktober 2008

5 Tantangan Lembaga Amil Zakat

Dalam buku “Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam” karya Asnaini, S.Ag., M.Ag. ada salah satu pembahasan menarik tentang pengelolaan zakat melalui Lembaga Amil Zakat. Lima hal tersebut adalah:
1. Adanya krisis kepercayaan umat terhadap segala macam bentuk usaha penghimpunan dana umat karena terjadi penyelewengan / penyalahgunaan akibat system control dan pelaporan yang lemah. Dampaknya orang lebih memilih membayar zakat langsung kepada mustahik dari pada melalui lembaga zakat.
2. Adanya pola pandangan terhadap pelaksaan zakat yang umumnya lebih antusias kepada zakat fitrah saja yakni menjelang hari raya idul fitri.
3. Tidak seimbangnya jumlah dana yang terhimpun dibandingkan dengan kebutuhan umat, sehingga dana terkumpul cenderung digunakan hanya untuk kegiatan konsumtif dan tidak ada bagian untuk kegiatan produktif. Hal ini juga dikarenakan tidak semua muzakku menunaikan zakat lewat lembaga.
4. Terdpat semacam kejemuan di kalangan muzakki, di mana dalam periode waktu yang relative singkat harus dihadapkan dengan berbagai lembaga penghimpun dana.
5. Adanya kekhawatiran politis sebagai akibat adanya kasus penggunaan dana umat tersebut untuk tujuan-tujuan politik praktis.
Kelima hal di atas seharusnya tidak terjadi, mengingat bahwa zakat itu sungguh akan menjadi tiang agama sekaligus tiang ekonomi. Kelima hal di atas juga seharusnya menjadi pijakan bagi lembaga zakat untuk lebih bekerja dengan professional.

Senin, 04 Agustus 2008

Mencari Indonesia

Menulis Indonesia berarti menulis diri kita sendiri. Bagaimana tidak, kita sudah bertahun-tahun hidup di Indonesia sekaligus mengikuti dan mengalami sendiri perkembangannya. Akan tetapi sebagian dari kita akan kesulitan mendefinisikan Indonesia yang kita kenal, dari mana Indonesia ini lahir, dan atas dasar apa Indonesia ini lahir. Karena itu sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk ‘menulis’kembali sejarah Indonesia atau paling tidak membaca ulang proses Indonesia menjadi bangsa merdeka seperti saat ini.

Membaca sejarah akan membuat kita merasa bangga dengan apa yang diperbuat oleh founding father bangsa ini. Merasa bangga karena kita dilahirkan dari ‘bapak dan ibu’ pejuang yang tidak kenal menyerah mempertahankan eksistensi kehidupan di buminya sendiri, tidak menyerah saat mereka ditindas dari berbagai segi. Lalu harapannya rasa bangga tersebut menyemangati kita untuk berbuat yang terbaik bagi negeri, dengan mengambil contoh dari bapak ibu kita di atas.

Umat Islam Indonesia akan merasa bangga jika mengetahui bahwa Islam datang ke Indonesia saat Rasulullah SAW masih hidup. Bukan seperti yang dikatakan oleh Snouck Hurgronje dengan Teori Gujaratnya. Snouck adalah seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam.

Umat Islam Indonesia juga akan merasa bangga jika mengetahui bahwa pendahulu-pendahulunya juga berperan besar dalam memperjuangkan bangsa. Lihat saja kelahiran Syarikat Dagang Islam (SDI) yang menandai kebangkitan nasionalisme, saat perdagangan pribumi terpinggirkan oleh kolonialisme, SDI menjadi wadah untuk bergerak membangkitkan ekonomi pribumi. Gerakan-gerakan Islam saat itu sangat dirasakan keberadaannya oleh masyarakat karena langsung menyentuh solusi akar permasalahan.

Tokoh-tokoh Islam yang memperjuangkan bangsa ini juga patut dijadikan teladan bagi kita saat ini. Sebut saja, Bung Tomo,pencetus gerakan 10 Nopember itu ternyata mempunyai trik sendiri untuk membangkitkan semangat para pejuang saat itu, Ia meneriakkan pekikak Allahu Akbar dalam berbagai kesempatan dan mempunyai motto ‘merdeka atau mati syahid’ sebuah motto yang sangat mulia dan bervisi luar biasa. Juga M. Natsir seorang Perdana Menteri yang bersahaja dan mempunyai idealisme yang tinggi untuk memimpin bangsa ini. Pasca-merdeka, kita mengenal HAMKA, seorang ulama yang mempunyai dedikasi tinggi mempersembahkan ilmunya untuk kemajuan bangsa, meskipun ia sempat dipenjara tidak mematahkan semangatnya untuk terus berjuang.

mereka tidak membanggakan apa yang telah mereka lakukan, karena sadar keberhasilannya atau keistiqomahannya dalam berjuang bukan semata-mata karena usahanya sendiri. Hanya pertolongan Allah SWT jualah yang mengantarkan mereka menjadi pejuang yang berhasil. “Barang siapa menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhamad:7)

Selasa, 03 Juni 2008

Ma'alim fi at-tariq (2)

Pada dekade 60-an, Sayid Qutb dilepaskan dari penjara, namun belum hilang penderitaannya di penjara, ia harus kembali masuk ke penjara pada 1965 setelah mempublikasikan buku ‘Ma’alim fi at-Tariq’ (Marka Penunjuk Jalan) yang memaparkan kondisi secara nyata dakwah Islam di masa-masa ketegangan dan perselishan fisik maupun mental. Buku ini menjadi rujukan kelompok-kelompok Islam militan tanpa terkecuali. Anggota Ikhwanul Muslimin, lama dan baru, sangat memegang buku ini. Mereka menyamarkan statemen Sayid Qutb yang ia lontarkan sebelumnya dalam fase sastra dan sosialis. Buku Ma’alim fi at-Tariq dianggap sebagai ujung dari akhir dari sebuah pengalaman hidup dan perasaan usia, padahal dalam fase sosialis Qutb, buku ini merupakan buku paling jelek yang pernah ditulis oleh Qutb. Gamal Abdul Nasser membaca buku ini selama perjalanan ke Moscow dalam rangka berobat. Dengan naluri keorganisasiannya, ia memberi tahu kepada aparat keamanan akan adanya sebuah organisasi rahasia di balik buku ini demi merealisaikan misi yang diperjuangkan, yaitu membebaskan manusia lewat barisan beriman. Maka konspirasi disusun dan direkayasa untuk Qutb pada tahun 1965 dengan tuduhan klasik: membentuk organisasi rahasia untuk menggulingkan pemerintahan dan merebut kekuasaan. Beribu-ribu anggota Ikhwanul Muslimin ikut lagi masuk penjara. Namun kali ini yang menjadi target adalah Sayid Qutb seorang karena faktor pengaruh kuat pemikiran dan keorganisasiannya. Intervensi dunia Islam kala itu meminta agar Mesir membebaskan Qutb sebagai tonggak pemikiran Islam sia-sia saja dan tidak menolongnya.

Sampai sekarang, Ma’alim fi at-Tariq ini menjadi poros utama dalam perkembangan pemikiran Ikhwanul Muslimin sebagai refleksi pemikiran kelompok-kelompok tertindas yang lahir dari carut marut konflik antara Ikhwanul Muslimin dan Dewan Revolusi. Buku ini bahkan akan tetap relevan bagi setiap kelompok Islam yang tertindas yang dapat digunakan sebagai petunjuk aksi menuju perubahan kondisi penindasan agar Dakwah Islamiyah diakui secara legal formal dalam masyarakat Islam. Dan agar jamaah Ikhwanul Muslimin menjadi warga negara yang bekerja di bidang pembangunan dan bukan anggota yang melawan hukum dan berada di tepian masyarakat, memusuhi masyarakat dan dimusuhi masyarakat. (insert: MILESTONE: Ma'alim fi aty-Tariq Versi Bahasa Inggris )

Membaca Sayyid Qutb

Pada intinya semua buku Sayid Qutb bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mendapat inspirasi keduanya tanpa ada ketentuan yang mengikat sebelumnya, bahwa keduanya dipandang sebagai sumber yang benar dalam agama ini, sedangkan sepanjang sejarahnya manusia telah jauh dari sumber ini. Karena mereka telah menyibukkan diri dengan buku-buku yang disebut ‘ilmiah’. Inilah yang menjauhkan mereka dari sumber-sumber kekayaan berharga, dan rugilah mereka denga meninggalkan kebaikan yang banyak sekali. Kerugian mereka jelas-jelas tampak dalam panggung sejarah dan benar-benar terjadi dalam realita.

Oleh karena itu, pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang wajib bagi semua Muslim. Sayid Qutb menyadari betul hal ini, lalu beliau menulis tiga buku: at-Tashwirul fi Al-Qur’an (Disiplin Ilmu di dalam Al-Qur’an), Masyahidul Qiyamah (Kesaksian Hari Kiamat) dan Fi Zilalil Qur’an (di Bawah Naungan Al-Qur’an).

Di balik lembaran buku-buku itu beliau bermaksud mengarahkan manusia kepada suasana Qur’ani, yaitu suasana baru, suasana kelezatan hidup dibawah naungan Al-Qur’an sebagaimana suasana diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri. Dengan metode penyampaiannya yang segar, beliau mencoba menyingkap tabir yang menyelimuti manusia mngenai rahasia-rahasia dan arti-arti yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Maka sangguplah orang membaca secara dalam setiap kata dan hurufnya serta kalimat yang diterangkannya.

Kesungguhan dalam visinya ditemukan dalam karya-karya besarnya yang pernah dikemukakan. Permasalahan hidup yang mencekam yang sedang melanda hidup manusia saat ini atau tentang mereka telah tertimpa dosa masa lalu beliau refleksikan dalam buku-bukunya. Yang paling penting, beliau meletakkan cara-cara penyelesaikan terbaik, yang menurut anggapannya benar.

Dalam menghadapi Komunisme dan Kapitalisme, beliau menulis al-‘Adalatul Ijtima’iyah fil-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), as-Salamul ‘Alamiwal-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam), Ma’rakatul Islam war-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahannya, beliau menulis al-Islam wa-Muskilatul Madharah (Islam dan Problematika Kebudayaan). Dalam menghadapi kepaercayaan yang sesat, beliau menulis Khashaisut Tashawwuril Islami wa-Muqawwamatihi (Ciri-Ciri Penggambaran Islam dan Pembendungannya), Hazad Din (Inilah Islam). Sedangkan sebagai dasar pijakan dan langkah-langkah dinamis, beliau menulis Ma’alim fi-Thariq (Petunjuk Jalan).

Dua tujuan dari seluruh tulisannya itu adalah berpangkal pada dua pokok: Pertama, yaitu penjelasan mengenai penggambaran Islam sebagaimana diturunkan Allah. Kedua, yaitu penjelasan mengenai keadaan kaum Muslimin yang jauh dari gambaran yang pertama itu. Dengan ungkapan lain, beliau mencoba untuk menjelaskan hakikat kebodohan (kejahiliyahan), untuk menunjukkan dan mengagungkan Islam, untuk menjelaskan jalan orang-orang Mukmin dari jalan orang yang berdosa, dan untuk memperkuat garis pemisah antara keduanya atas dasar akidah.

Kamis, 15 Mei 2008

IKHWANUL MUSLIMIN: GERAKAN ISLAM IDEAL

Membahas peta kekuatan politik Islam di Mesir tidak bisa lepas dari membincangkan gerakan Persaudaraan Islam atau Ikhwanul Muslimin (IM) yang didirikan oleh Asy-Syahid Hasan Albana hampir tujuh dekade lalu. Bahkan banyak gerakan Islam dunia, di Asia, Australia, Eropa, maupun Amerika, terinspirasi dari gerakan al-Ikhwan ini.

Tidak aneh jika kekuatan politik Barat yang sekuler melihat IM sebagai salah satu ganjalan terberatnya dan lewat berbagai konspirasi di medan nyata maupun media, mereka banyak melontarkan fitnah keji bahwa IM berada di balik semua aksi teror hingga kini.

Kemunculan gerakan IM tidak bisa lepas dari perjalanan dakwah Islam di dunia Arab itu sendiri, bukan hanya di Mesir. Ada rentang yang teramat jauh hingga menunjuk sekitar abad ke 700 Masehi atau tepatnya tahun 661 M di mana saat itu Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah pertama dalam apa yang sekarang kita kenal sebagai masa Dinasti Muawiyah.

Dunia Islam menyikapi naiknya Muawiyah sebagai khalifah dengan dua wajah yang saling bertentangan secara diametral: ada kelompok yang menolaknya dan ada pula yang menerima bulat-bulat.

Kelompok yang menolak kekhalifahan Muawiyah menganggap penguasa ini mendapat kekuasaan secara tidak sah. Walau demikian, kelompok yang anti ini juga terbagi dua yaitu mereka yang menolak dengan tegas dan telah menyusun perencanaan matang untuk meluruskan jalan kekhalifahan Islam, dan ada pula yang juga menolak namun mereka lebih memilih jalan aman yaitu melarikan diri kepada Islam ritual guna menghindari bentrokkan dengan penguasa. Yang terakhir ini antara lain diwakili oleh kalangan sufi atau tarekat-tarekat.

Kelompok kedua adalah mereka yang bisa menerima kekuasaan Muamiyah secara bulat. Kelompok yang beraliran politik ”Daripada-Mendingan” alias pragmatis ini beranggapan bahwa biapun Muawiyah jauh dari citra Islam politik yang sesungguhnya, tapi minimal Muawiyah bagaimana pun telah mempersatukan umat Islam di bawah sebuah negara yang berdaulat.

Kelompok yang terakhir ini juga melihat bahwa Muawiyah masih bisa dianggap sebagai cermin dari kekhalifahan Islam antara lain dia tidak melarang umat untuk meyakini rukun iman dan menjalankan rukun Islam yang lima. Hal ini melahirkan golongan umat Islam yang lebih khusyuk dengan hal-hal yang bersifat pribadi atau ubudiyah dan saat ini dikenal sebagai kelompok Islam tradisonal.

Kelompok pertama yang secara tegas ingin menjalankan syariat Islam secara kaffah, walau hal itu harus berhadapan dengan penguasa, secara terencana menyusun langkah demi langkah—marhalah dakwah—agar suatu saat nanti bisa membentuk sebuah pemerintahan yang lebih Islami. Cita-cita yang sedemikian jelas ini membuat banyak penguasa geram dan melakukan penumpasan terhadap tokoh-tokohnya.

Kelompok inilah yang menjadi cikal bakal gerakan Islam modern seperti halnya gerakan al-Ikhwan yang bermula di Mesir.

Kiprah Al-Ikhwan

Gerakan al-Ikhwan didirikan di kota kecil di pinggir terusan Suez bernama Ismailiyah, Mesir, oleh seorang guru yang menjalani kehidupannya dengan penuh kesederhanaan bernama Hasan al-Banna, bulan Maret 1928. Saat Albana mendirikan Ikhwan, sebenarnya dia baru lulus dari Darul Ulum, sebuah lembaga pendidikan guru di Kairo. Setelah lulus, Albana oleh pemerintah Mesir ditempatkan di Ismailiyah guna mengajar di sebuah sekolah lanjutan pertama.

Sebagai seorang ’kutu buku’ dan gemar mengamati perkembangan sejarah dan politik di Mesir dan juga Dunia Islam keseluruhan, Albana meyakini jika Islam-lah satu-satunya solusi bagi kemerdekaan sejati seorang manusia dan juga bangsa. Setiap hari Albana membincangkan hal ini, menularkan semangat keIslamannya kepada semua yang diajaknya bicara. Di kelas, Albana bukan sekadar seorang guru yang secara formal mengajarkan materi pelajaran secara kaku, namun dia dengan penuh kecintaan dan juga semangat berusaha dengan sekuat tenaga menanamkan kepada anak didiknya pemahanan yang lurus tentang Islam, yang berawal dari pemahaman yang benar tentang syahadatain.

Setelah mengajar, Albana sering berkunjung ke kedai-kedai kopi yang memang banyak bertebaran di Ismailiyah dan menjadi tempat berkumpulnya warga kota. Di tempat yang strategis ini, dirinya berdialog dengan siapa saja yang dijumpainya dan menyampaikan segala apa yang menjadi cita-citanya. Saat adzan bergema, Albana selalu berangkat ke masjid terdekat dan mendirikan solat bersama warga lainnya. Dakwahnya di kedai-kedai kopi ini sering dilakukan sampai malam hari sehingga lama-kelamaan banyak warga Ismailiyah yang mengenal Albana sebagai seorang yang pintar, berkepribadian hangat, murah senyum, dan shalih. Banyak warga kota yang menjadikan Albana sebagai tempat mencari nasehat atau solusi bagi permasalahan yang tengah dihadapinya.

Dakwah yang dilakukan Albana tidak hanya dilakukan di Ismailiyah, namun juga di kota-koa lainnya di seluruh negeri. Ini dilakukannya di saat liburan panjang di setiap musim panas. Albana selalu bepergian ke berbagai wilayah, kota maupun desa, dan menyampaikan dakwahnya. Walau telah dikenal sebagai seorang tokoh, namun kesederhanaan seorang Albana tidaklah luntur. Ketika bepergian ke luar daerah, Albana masih saja suka menumpang kendaraan umum.

Pernah satu ketika ada seorang ikhwah yang menjumpai Albana tengah naik kereta api kelas rakyat. Albana ditanya mengapa masih saja bepergian naik kereta rakyat. Dengan senyum yang begitu tulus, Albana menjawab bahwa dirinya naik kereta ini karena tidak ada lagi jenis kereta yang lebih sederhana dan murah. Jika saja ada kereta yang lebih murah, maka dirinya akan memilih menumpang kendaraan tersebut. Mendengar jawaban yang keluar dari hati yang penuh keikhlasan, sang ikhwah pun begitu terharu. Hal ini menjadikannya lebih bersemangat untuk tetap berjuang di jalan dakwah ini. Mungkin lain halnya jika sang Mursyid Aam ini menumpang sebuah mobil mewah atau kereta api kelas VIP. (ERAMUSLIM.COM)