Selasa, 03 Juni 2008

Ma'alim fi at-tariq (2)

Pada dekade 60-an, Sayid Qutb dilepaskan dari penjara, namun belum hilang penderitaannya di penjara, ia harus kembali masuk ke penjara pada 1965 setelah mempublikasikan buku ‘Ma’alim fi at-Tariq’ (Marka Penunjuk Jalan) yang memaparkan kondisi secara nyata dakwah Islam di masa-masa ketegangan dan perselishan fisik maupun mental. Buku ini menjadi rujukan kelompok-kelompok Islam militan tanpa terkecuali. Anggota Ikhwanul Muslimin, lama dan baru, sangat memegang buku ini. Mereka menyamarkan statemen Sayid Qutb yang ia lontarkan sebelumnya dalam fase sastra dan sosialis. Buku Ma’alim fi at-Tariq dianggap sebagai ujung dari akhir dari sebuah pengalaman hidup dan perasaan usia, padahal dalam fase sosialis Qutb, buku ini merupakan buku paling jelek yang pernah ditulis oleh Qutb. Gamal Abdul Nasser membaca buku ini selama perjalanan ke Moscow dalam rangka berobat. Dengan naluri keorganisasiannya, ia memberi tahu kepada aparat keamanan akan adanya sebuah organisasi rahasia di balik buku ini demi merealisaikan misi yang diperjuangkan, yaitu membebaskan manusia lewat barisan beriman. Maka konspirasi disusun dan direkayasa untuk Qutb pada tahun 1965 dengan tuduhan klasik: membentuk organisasi rahasia untuk menggulingkan pemerintahan dan merebut kekuasaan. Beribu-ribu anggota Ikhwanul Muslimin ikut lagi masuk penjara. Namun kali ini yang menjadi target adalah Sayid Qutb seorang karena faktor pengaruh kuat pemikiran dan keorganisasiannya. Intervensi dunia Islam kala itu meminta agar Mesir membebaskan Qutb sebagai tonggak pemikiran Islam sia-sia saja dan tidak menolongnya.

Sampai sekarang, Ma’alim fi at-Tariq ini menjadi poros utama dalam perkembangan pemikiran Ikhwanul Muslimin sebagai refleksi pemikiran kelompok-kelompok tertindas yang lahir dari carut marut konflik antara Ikhwanul Muslimin dan Dewan Revolusi. Buku ini bahkan akan tetap relevan bagi setiap kelompok Islam yang tertindas yang dapat digunakan sebagai petunjuk aksi menuju perubahan kondisi penindasan agar Dakwah Islamiyah diakui secara legal formal dalam masyarakat Islam. Dan agar jamaah Ikhwanul Muslimin menjadi warga negara yang bekerja di bidang pembangunan dan bukan anggota yang melawan hukum dan berada di tepian masyarakat, memusuhi masyarakat dan dimusuhi masyarakat. (insert: MILESTONE: Ma'alim fi aty-Tariq Versi Bahasa Inggris )

Membaca Sayyid Qutb

Pada intinya semua buku Sayid Qutb bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mendapat inspirasi keduanya tanpa ada ketentuan yang mengikat sebelumnya, bahwa keduanya dipandang sebagai sumber yang benar dalam agama ini, sedangkan sepanjang sejarahnya manusia telah jauh dari sumber ini. Karena mereka telah menyibukkan diri dengan buku-buku yang disebut ‘ilmiah’. Inilah yang menjauhkan mereka dari sumber-sumber kekayaan berharga, dan rugilah mereka denga meninggalkan kebaikan yang banyak sekali. Kerugian mereka jelas-jelas tampak dalam panggung sejarah dan benar-benar terjadi dalam realita.

Oleh karena itu, pemahaman atas Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang wajib bagi semua Muslim. Sayid Qutb menyadari betul hal ini, lalu beliau menulis tiga buku: at-Tashwirul fi Al-Qur’an (Disiplin Ilmu di dalam Al-Qur’an), Masyahidul Qiyamah (Kesaksian Hari Kiamat) dan Fi Zilalil Qur’an (di Bawah Naungan Al-Qur’an).

Di balik lembaran buku-buku itu beliau bermaksud mengarahkan manusia kepada suasana Qur’ani, yaitu suasana baru, suasana kelezatan hidup dibawah naungan Al-Qur’an sebagaimana suasana diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri. Dengan metode penyampaiannya yang segar, beliau mencoba menyingkap tabir yang menyelimuti manusia mngenai rahasia-rahasia dan arti-arti yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Maka sangguplah orang membaca secara dalam setiap kata dan hurufnya serta kalimat yang diterangkannya.

Kesungguhan dalam visinya ditemukan dalam karya-karya besarnya yang pernah dikemukakan. Permasalahan hidup yang mencekam yang sedang melanda hidup manusia saat ini atau tentang mereka telah tertimpa dosa masa lalu beliau refleksikan dalam buku-bukunya. Yang paling penting, beliau meletakkan cara-cara penyelesaikan terbaik, yang menurut anggapannya benar.

Dalam menghadapi Komunisme dan Kapitalisme, beliau menulis al-‘Adalatul Ijtima’iyah fil-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), as-Salamul ‘Alamiwal-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam), Ma’rakatul Islam war-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahannya, beliau menulis al-Islam wa-Muskilatul Madharah (Islam dan Problematika Kebudayaan). Dalam menghadapi kepaercayaan yang sesat, beliau menulis Khashaisut Tashawwuril Islami wa-Muqawwamatihi (Ciri-Ciri Penggambaran Islam dan Pembendungannya), Hazad Din (Inilah Islam). Sedangkan sebagai dasar pijakan dan langkah-langkah dinamis, beliau menulis Ma’alim fi-Thariq (Petunjuk Jalan).

Dua tujuan dari seluruh tulisannya itu adalah berpangkal pada dua pokok: Pertama, yaitu penjelasan mengenai penggambaran Islam sebagaimana diturunkan Allah. Kedua, yaitu penjelasan mengenai keadaan kaum Muslimin yang jauh dari gambaran yang pertama itu. Dengan ungkapan lain, beliau mencoba untuk menjelaskan hakikat kebodohan (kejahiliyahan), untuk menunjukkan dan mengagungkan Islam, untuk menjelaskan jalan orang-orang Mukmin dari jalan orang yang berdosa, dan untuk memperkuat garis pemisah antara keduanya atas dasar akidah.