Senin, 13 Oktober 2008

Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, Masihkah kita menyembah pada-Nya ?


Pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah diprbolehkan menyembah Allah itu lantaran mengharapkan pahala-Nya dan lantaran takut pada siksaan-Nya ?. Dengan kata lain, untuk menghindari neraka dan menggapai surga ?
Kaum sufi mengecam orang yang menyembah Allah dengan tujuan seperti di atas. Mereka berkata “Tidak selayaknya seorang hamba itu beribadah kepada Allah dan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya lantaran takut pada siksaan-Nya, atau lantaran mengharapkan pahala-Nya. Sungguh orang yang seperti ini hanya berdiri disertai dengan tujuan dan keuntungan bagi dirinya, tapi kecintaan kepada Allah benar-benar enggan dan tidak menyertainya. Sesungguhnya yang mencintai itu tidak memiliki bagian bersama yang dicintai. Maka, kesetaraannya bersama bagian keuntungan itu merupakan cela dalam kecintaannya. Sebagimana pengharapannya pada pahala itu merupakan pandangan bahwa dia berhak mendapatkan pahala yang harus diberikan oleh Allah lantaran amalnya.”
Dalam hal ini, terdapat dua bahaya: pandangannya terhadap pahala, dan persangkaan baiknya terhadap amal perbuatannya. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali mensterilkan ibadah, kepatuhan terhadap perintah dan larangan dari segala cela. Tapi hendaknya ia melaksanakannya dengan penuih pengagungan terhadap zat yang memerintah lagi melarang.
Dialah yang berhak disembah dan diagungkan kehormatan-kehormatan-Nya. Maka , zat-Nyalah yang berhak atas ibadah, pengagungan dan pemuliaan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam atsar Illahi, “Seandainya aku tidak menciptakan surga tidak pula neraka, apakah lantas Aku tidak berhak di sembah?”. Ada uyang berpendapat bahwa jiwa yang suci lagi tinggi itu menyembah Allah karena Dia berhak disembah, dimuliakan, dicintai dan diagungkan. Dia pada zat-Nya berhak untuk disembah. Mereka berkata, “Sikap hamba terhadap Tuhannya itu bukanlah seperti pekerja upahan yang buruk, jika diberi upahnya dia bekerja, tapi bila tidak diberi dia tidak bekerja. Ini adalah hamba upah, bukan hamba cinta dan kehendak.” Di antara ulama ada yang menolak perkataan tersebut, dan menggolongkan sebagai ungkapan dari kekacauan mereka. Dia tidak melihat adanya kejanggalan atau kekurangan pada ibadah kepada Allah lantaran ketakutan dan pengharapan, kecintaan dan kekhawatiran. Para ulama ini berhujah dengan keadaan para nabi, rasul, orang-orang shidiqin dan shalih. Doa dan pujian terhadap mereka – di dalam kitab Allah – lantaran ketakutan mereka terhadap neraka dan pengharapan mereka terhadap surga. Sebagaimana dinyatakan Allah mengenai hamba-hamba khusus-Nya yang disembah oleh orang-orang musrik serta dijadikan tempat memohon bukan kepada Allah atau memohon kepada mereka sekaligus Allah,

“orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”(al-Isra: 57)
Allah SWT menyebutkan hamba-hamba-Nya yang dimuliakan-Nya dengan menisbatkan nama-nama mereka pada nama-Nya “arrahman”. Allah menamakan mereka “ibbadurahman” dan memuji mereka dengan amal perbuatan mereka yang paling baik. Lalu di antaranya Allah menjadikan permohonan perlindungan mereka dengannya dari neraka. Allah SWT berfirman,

“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahanam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".(Al-Furqaan: 65)
Allah memberitahukan bahwasanya mereka bertawasul (menggunakan perantara) kepada-Nya dengan keimanan mereka supaya Allah menyelamatkan mereka dari neraka. Allah SWT berfirman ,

“Yaitu) orang-orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,"(ali Imran:16)
Mereka menjadikan perantara keimanan sebagai perantara yang paling besar kepada Allah agar menyelamatkan mereka dari neraka.
Masih banyak lagi hujjah al-Qur’an yang menyatakan pengharapan surga disertai dengan berharap terhindarnya dari surga, seperti dalam surat Ali-Imran 190-195, surat Asy-Syu’araa 82-87. yang kesimpulannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang dijanjikan melalui lisan para rasul itu adalah surga yang mereka minta. Allah SWt memberitahukan kepada kita tentang surga bahwasannya surga itu merupakan janji yang pasti Dia tepati. Maksudnya, janji surga yang diminta oleh para hamba dan wali-Nya.
Nabi SAW memerintahkan kepada umatnya agar memohon kepada Allah pada waktu yang dikabulkan (setelah adzan) kedudukan yang tinggi di surga dan memberitahukan juga bahwa siapa yang memohonkan kedudukan yang tinggi itu bagi beliau, maka orang tersebut akan mendapatkan syafaat beliau.
Sulaim al-Anshari berkata kepada beliau, “Saya memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka. Aku tidak bisa berdendang denganmu, tidak pula berdendang dengan Mu’adz!” Beliau SAW berkata, “Aku dan Mu’adz di sekitarnya, kami berdendang!”
Di dalam hadist shahih, tentang para malaikat sayyarah bahwasannya Allah SWT bertanya kepada mereka tentang hamba-hamba-Nya, padahal Dia lebih tahu tentang mereka. Para malaikat itu berkata, “kami mendatangi-Mu dari tempat hamba-hamba-Mu. Mereka bertahlil (mengucapkan laa ilaaha illallah) kepada-Mu, memuji-Mu, dan mengagungkan-Mu. “Allah SWT berkata, “apakah mereka melihatKu?” Para malaikat menjawab, “Tidak, ya Tuhan kami, mereka tidak melihat-Mu.” Allah SWT berkata, “Bagaimana jika mereka melihatKu?” para malaikat menjawab, “seandainya mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih giat dalam mengagungkan-Mu.”
Para malaiakat berkata , “Ya Tuhan kami, mereka memohon surga kepada-Mu”. Allah bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” “Tidak, demi keagungan-Mu, mereka tidak pernah melihatnya,” jawab para malaikat. Allah berkata, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Para malaikat berkata, “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka akan lebih giat dalam berusaha untuk menggapainya.”
Para malaikat melanjutkan ertanyaan, “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari neraka” Allah SWT berkata, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Malaikat berkata, “Tidak, demi keagungan-Mu, mereka tidak pernah melihatnya!” Allah berkata, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” para malaikat menjawab, “Seandainya mreka melihatnya, niscaya mereka lebih giat dalam menghindarkan diri darinya.” Allah lantas berkata, “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka, dan memberikan kepada mereka apa yang mereka pinta. Aku melindungi mereka dari apa yang mereka mohonkan perlindungan kepadaKu.”
Al-Qur’an dan Sunnah penuh dengan pujian terhadap hamba-hamba-Nya, dan para wali-Nya dengan permohonan surga beserta tingkatannya, memohon perlindungan dari neraka dan takut akan azabnya.
Nabi SAW berkata kepada para sahabatnya, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari neraka.” Lantas berkata sahabat yang memohon kepadanya, agar di surga kelak dia dekat dengan Nabi SAW, “bantulah aku terhadap dirimu dengan memperbanyak sujud.”
Para ulama berkata,” Beramal untuk meraih surga dan keselamatan dari neraka adalah tujuan yang ditetapkan oleh pembuat syariat pada umat-Nya, agar surga dan neraka tersebut selalu di dalam ingatan mereka dan tidak melupakannya. Dan karena beriman terhadap adanya surga dan neraka itu merupakan syarat untuk meraih keselamatan, serta beramal untuk meraih surga dan selamat dari neraka, maka keimanan di sini merupakan keimanan yang murni.”
Nabi SAW memotivasi sahabat serta umatnya supaya meraih surga. Beliau menceritakan dan menerangkan kepada mereka supaya mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraihnya. Beliau berkata, “Adakah yang bersiap-siap memburu surga? Sesungguhnya suga itu, demi Tuhan Ka’bah, cahaya yang berkilauan, pohon wangi yang bergoyang, istri yang cantik, buah yang matang, istana yang tinggi, sungai yang mengalir tiada henti.” Para sahabat lantas berkata, “Ya Rasulullah, kami adalah para pemburu surga.” Beliau berkata, “Katakanlah, Insya Allah, jika Allah menghendaki.”
Lalu, bagaimana mungkin amal perbuatan untuk meraih pahala dan lantaran takut pada siksa dapat dinyatakan tidak benar / padahal Rasul SAW mendorong agar melakukannya? Dan para ulama mengatakan bahwa Allah SWT menyukai pada hamba-hamba-Nya bila mereka memohon surga kepada-Nya, dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka-Nya. Sesungguhnya Allah suka bila diajukan kepada-Nya suatu permohonan. Siapa yang tidak memohon kepada-Nya, maka Dia memurkainya. Dan permohonan yang paling besar ialah surga. Sedangkan yang paling besar perlindungan yang dipinta dari-Nya itu adalah permohonan perlindungan dari neraka.
Mereka berkata, “Jika hati itu hampa dari surga dan neraka, mengharapkan surga dan menghindar dari neraka, maka luluhlah tekatnya, lemahlah semangatnya, dan reduplah motivasinya. Bila hati itu semakin giat dalam berusaha dan beramal dalam meraih surga, maka motivasinya itu semakin lebih kuat, semangatnya lebih tinggi, dan usahanya lebih sempurna. Ini merupakan perkara yang dapat diketahui dan dimaklumi dengan perasaan.”
Mereka berkata, “Seandainya hal ini tidak menjadi tuntutan pembuat syariat, niscaya Dia tidak menceritakan tentang surga kepada hamba-hamba-Nya, memperindah dalam pandangan mereka, mengajukan kepada mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang detail-detailnya yang dapat dijangkau oleh akal mereka. Dan yang selebihnya, Dia memberitahukannya secara global sebagai stimulus dan motivasi aagar mereka semakin giat dalam meraihnya.”
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim bersikap pertengahan antara golongan sufi dan sebagian ulama umat ini yang menentang serta menyalahkan pendapat kaum sufi. Setelah menceritakan sekaligus menyanngah perkataan mereka, ibnu Qayyim berkata, “ Pertanyaan yang lebih tepat dalah: surga itu bukanlah sekedar nama pepohonan, buah-buahnan, makanan, minuman, bidadari, sungai, dan istana. Kebanyakan manusia salah dalam memahami apa yang disebut surga. Sesunguhnya surga itu adalah sebutan bagi tempat kenikmatan yang mutlak lagi sempurna. Di antara kenikmatan surga yang paling besar adalah kenikmatan memandang Allah Yang Mulia, mendengar perkataan-Nya, kebahagiaan lantaran dekan dengan-Nya, dn amendapat keridhaan-Nya. Kenikmatan yang ada di dalamnya sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan lain, seperti dalam hal makanan, minuman, dan gambar-gambar. Keridhaan-Nya yang paling sedikitpun, itu sangat besar bila dibandingkan dengan surga beserta apa yang ada di dalamnya. Sebagaimana dikatakan Allah SWT, “Dan keridhaan-Nya lebih besar.” (At-Taubah : 72)
Allah menyebutkan keridhaan di sini dengan lafadz yang umum (nakirah0 dalam bentuk penetapan. Maksudnya apa pun bentuk kridhaan Allah terhadap hamba-Nya, itu lebih besar daripada surga.”
Dalam hadist sahih –hadist tentang melihat Allah-, “Demi Allah, tidak ada pemberian Allah kepada mereka yang lebih disukai daripada nikmat melihat wajah-Nya” Di dalam hadist lain, “Sesungguhnya jika Allah SWT menampakkan diri pada mereka, dan mereka melihat wajah-Nya dengan mata dan kepalanya sendiri, mereka pun lupa dengan kenikmatan lain yang ada pada mereka. Mereka terlena dan tidak memperhatikan lagi nikmat yang lainnya itu.”
Ibnu Qayyim berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa beginilah kejadiannya. Itu tentu termasuk yang terdetik dalam hati, atau terbesit di dalam khayalan. Lebih-lebih pada saat para pecinta itu memperoleh keberuntungan di sana dengan kesertaan cinta. Sesungguhnya seseorang itu bersama orang yang dicintainya. Adakah nikmat, kesenangan, kebahagiaan dan keberuntungan yang setera dengan nikmat bersama dengan pihak yang dicintai, kesenangan dan kebahagiaan itu ?
Ini, demi Allah, adalah ilmu yang diburu oleh para pecinta dan panji yang didambakan oleh ahli ma’rifah (memiliki pengetahuan tentag Allah). Dia itu adalah ruh atas penamaan dan kehidupan surga. Dengannya surga menjadi membahagiakan dan dengannya surga ditegakkan.
Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ia tidak menyembah Allah lantaran mencari surga-Nya dan bukan lantaran takut kepada neaka-Nya ? Demikian juga neraka, semoga Allah melindungi kita darinya. Sesungguhnya bagi penghuninya yang tersiksa lantaran tidak dapat melihat Allah, dihinakan-Nya, dimurkai, dilaknat dan dijauhkan dari-Nya, itu lebih besar bagi mereka daripada kobaran api neraka yang menghanguskan badan mereka. Yang menjadi dambaan para nabi, para rasul, shidiqin, syuhada, dan orang-orang shalih adalah surga. Lalu yang sangat dihindari oleh mereka adalah neraka. (wallahu a’lam..) (sumber foto: image Bank... gak tau dari mana)

KEMISKINAN LAGI


Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ia sudah menjadi realitas sistem / struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.
Tata nilai dan sistem / struktur sosial ekonomi serta prilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu sendiri.

Masalah Kemiskinan.
Kemiskinan rakyat Indonesia tidak disebabkan mereka sejak semula tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka. Mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah dihancurkan oleh mereka. Dan proses penghancuran kesempatan ini telah berlangsung sejak dulu sampai sekarang, dimulai sejak zaman feodalisme kerajaan, zaman kolonialisme dan akhirnya zaman ketergantungan pada sekarang ini. Secara spesifik, keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar rakyat indonesia disebabkan akibat proses penghancuran kesempatan yang terjadi akibat proses eksploitasi yang berbentuk sebagai berikut:
• Pertukaran yang tidak adil dalam perdagangan barang-barang.
• Pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa pekerja.
• Pengenaan pungutanyang relatif memberatkan dari penguasa kepada rakyat kecil.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi sebagai akibat intensifikasi faktor modal dalam proses produksi di berbagai bidang, merupakan proses tambahan yang mempersempit kemungkinan naiknya taraf hidup massa miskin. Proses eksploitasi mengakibatkan timbulnya pengalihan surplus nilai dari pihak pekerja atau massa rakyat kepada kelas diatasnya pada proses produksi, terutama para pemilik modal. Proses ini telah berjalan ratusan tahun di Indonesia akhirnya menimbulkan massa miskin yang praktis tidak mempunyai harta produktif atau aset lainnya yang dapat menimbulkan pendapatan. Faktor badaniah yang mereka punyai pun tidak layak disebut sebagai human capital. Faktor badaniah ini cenderung sebagai faktor yang tidak produktif. Akhirnya massa miskin sangat tergantung pada pemilik harta produktif, dan massa miskin cenderung menyerah sepehuhnya terhadap ‘kebaikan hati’ pemilik harta produktif.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi mengakibatkan pengangguran terbuka dan terselubung. Hal ini adalah komponen utama yang menimbulkan kemiskinan ditanggung bersama di antara mereka. Dua jenis pengangguaran ini mengakibatkan rasio ketergantungan (depedency ratio) yaitu perbandingan di antara penduduk aktif dan pasif menjadi tinggi. Di Indonesia, depedency ratio yang tinggi ini dialami oleh golongan miskin. Kemiskinan ditanggung bersama (shared proverty) dan depedency ratio yang tinggi, tidak terjadi di golongan lain. Dalam situasi inilah maka timbul lingkaran kemiskinan bersama-sama dalam lingkaran kelebihan. Lingkaran kemiskinan dapat diterangkan sebagai berikut : “oleh karena kemiskinan maka produktivitas dan pada gilirannya pendapatan menjadi rendah disebabkan kemiskinan membuat daya tawar maupun daya kerja lemah” oleh karena produktivitas atau pendapatan rendah maka kemiskinan timbul. Demikian seterusnya, lingkaran ini berjalan sehingga kemiskinan cenderung bertambah parah, tatkala keluarga miskin bertambah jumlahnya, dari waktu ke waktu.
Situasi kemiskinan yang ditanggung bersama tersebut sudah tidak dapat dikatakan menimbulkan keharmonisan di pedesaan, oleh karena kemiskinan yang ditanggung bersama ini hanya berjalan di kalangan massa miskin membuat kemiskinan melembaga sehingga menimbulkan kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan di kalangan massa miskin ini membuat lingkaran kemiskinan merupakan a built-in vicious circle, sesustu lingkaran yang tak berujung yang ditumbuhkan dari dalam. Keadaan ini yaitu keadaan kultur miskin dan statis ini menimbulkan kesan bahwa massa miskin itu sebetulnya tidak ingin mengubah nasib mereka. Mereka pandang kemiskinan sebagai atribut permanen untuk mereka, sehingga mereka seringkali tidak tergerak, kenapa hal tersebut mesti dipersoalkan. Lingkaran kemiskinan yang parahpun seolah olah menjadi fenomena permanen. Bersama dengan itu masyarakat yang pasif menjadi fenomena yang permanen. Sebagai masyarakat yang tidak produktif mereka tidak mempunyai ambisi lagi dan statis gerakannya.
Sementara itu kalangan yang memiliki dan menguasai harta-harta produktif dan kesempatan-kesempatan atau fasilitas yang dapat menimbulkan pemilikan dan penguasaan harta-harta produktif mengalami lingkaran yang berlebihan. Pemilikan atau penguasaan harta-harta produktif menimbulkan kapasitas untuk memperoleh kesempatan untuk meraih pendapatan yang lebih tinggi. Dengan pendapatan yang lebih tinggi ini, selain konsumsi lebih tinggi dan baik kualitasnya, juga menimbulkan surplus yang akhirnya memperkokoh dan memperluas kepemilikan faktor-faktor produksi. Hal tersebut menimbulkan pemupukan human capital secara terus menerus pada kaum pemilik harta produktif, sehingga golongan miskin makin jauh tertinggal dan akan terus mengalami perlakuan semena-mena dari golongan kaya.

Gerakan Kebudayaan.
Kedalaman masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kehidupan sejumlah rakyat kita, menuntut perlunya pengembangan upaya-upaya yang dapat mempengaruhi perilaku pembentuk sitem dan tata nilai kemasyarakatan, bukan sekedar yang menyentuh arus atas kehidupan konkret saja. Persoalan ini artinya, tidak bisa ditangani hanya sebagai fenomena ekonomi,. Juga tidak bisa dip[andang sebagai urusan pemerintah dengan p[rogram pembangunan yang ada, sungguhpun untuk sebagian dari banyak hal bisa diupayakan. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dan atau gerakan perubahan kebudayaan.
Dalam hubungan ini, perlu dikembangkan upaya yang mengartikan gerakan kebudayaan sebagai keseluruhan upaya pengembangan swadaya masyarakat dalam mengatasi dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan, dalam kerangka proses belajar terus-menerus dan sesuai dengan pengalaman kesejahteraan serta peluang penerimaan masyarakat, ke arah transformasi perilaku aktual, struktur dan tata niali kemasyarakatan.
Pusat perhatian gerakan kebudayaan ditunjukkan pada pembentukan situasi dan pengalaman empiris masyarakat, melalui serangkaian kegiatan konkret dalam pengatasan dan pemenuhan minat, kebutuhan dan kepentingan aktual rakyat, bukan sekedar melalui gerakan retorik. Dengan kata lain, gerakan kebudayaan selalu diwarnai secara permanen oleh berbagai langkah-langkah kecil dalam skala masal dan tempo yang panjang, sedemikian rupa sehingga dapat berperan sebagai:
• Referensi hidup sehari-hari masyarakat.
• Selanjutnya akan ikut mewarnai peluang penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang lebih dinamis.
• Mempengaruhi pembentukan sistem struktur kemasyarakatan.
• Secara keseluruhan akan berpengaruh pada pembentukan tata nialai dan corak apresiasi keagamaan masyarakat ke arah yang lebih fungsional.
Gerakan kebudayaan, karena itu, bukan gerakan gegap gempita dalam mengumandangkan keyakinan, bukan pula sekedar penasehatan tentang apa yang di pandang benar. Ia adalah gerakan yang memihak pada kepentingan rakyat banyak, kaum duafa , dan langsung berwujud pelibatan dalam permasalahan aktual dan kecil-kecil dalam masyarakat, untuk mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan kehidupan. Ia pada hakikatnya adalah gerakan dakwah, karena dakwah berarti usaha untuk mengubah keadaan yang tidak baik menjadi yang baik dan lebih baik. Karena itu ia harus didasari pada moral agama. (Nb. Ini makalah saya saat diskusi mata kuliah ISD (Ilmu Sosial Dasar) di Fak. Sastra UNS, entah tahun berapa.. foto: Image Bank - unknow)

Jumat, 10 Oktober 2008

5 Tantangan Lembaga Amil Zakat

Dalam buku “Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam” karya Asnaini, S.Ag., M.Ag. ada salah satu pembahasan menarik tentang pengelolaan zakat melalui Lembaga Amil Zakat. Lima hal tersebut adalah:
1. Adanya krisis kepercayaan umat terhadap segala macam bentuk usaha penghimpunan dana umat karena terjadi penyelewengan / penyalahgunaan akibat system control dan pelaporan yang lemah. Dampaknya orang lebih memilih membayar zakat langsung kepada mustahik dari pada melalui lembaga zakat.
2. Adanya pola pandangan terhadap pelaksaan zakat yang umumnya lebih antusias kepada zakat fitrah saja yakni menjelang hari raya idul fitri.
3. Tidak seimbangnya jumlah dana yang terhimpun dibandingkan dengan kebutuhan umat, sehingga dana terkumpul cenderung digunakan hanya untuk kegiatan konsumtif dan tidak ada bagian untuk kegiatan produktif. Hal ini juga dikarenakan tidak semua muzakku menunaikan zakat lewat lembaga.
4. Terdpat semacam kejemuan di kalangan muzakki, di mana dalam periode waktu yang relative singkat harus dihadapkan dengan berbagai lembaga penghimpun dana.
5. Adanya kekhawatiran politis sebagai akibat adanya kasus penggunaan dana umat tersebut untuk tujuan-tujuan politik praktis.
Kelima hal di atas seharusnya tidak terjadi, mengingat bahwa zakat itu sungguh akan menjadi tiang agama sekaligus tiang ekonomi. Kelima hal di atas juga seharusnya menjadi pijakan bagi lembaga zakat untuk lebih bekerja dengan professional.