Senin, 13 Oktober 2008

KEMISKINAN LAGI


Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ia sudah menjadi realitas sistem / struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.
Tata nilai dan sistem / struktur sosial ekonomi serta prilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu sendiri.

Masalah Kemiskinan.
Kemiskinan rakyat Indonesia tidak disebabkan mereka sejak semula tidak mempunyai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka. Mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah dihancurkan oleh mereka. Dan proses penghancuran kesempatan ini telah berlangsung sejak dulu sampai sekarang, dimulai sejak zaman feodalisme kerajaan, zaman kolonialisme dan akhirnya zaman ketergantungan pada sekarang ini. Secara spesifik, keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar rakyat indonesia disebabkan akibat proses penghancuran kesempatan yang terjadi akibat proses eksploitasi yang berbentuk sebagai berikut:
• Pertukaran yang tidak adil dalam perdagangan barang-barang.
• Pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa pekerja.
• Pengenaan pungutanyang relatif memberatkan dari penguasa kepada rakyat kecil.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi sebagai akibat intensifikasi faktor modal dalam proses produksi di berbagai bidang, merupakan proses tambahan yang mempersempit kemungkinan naiknya taraf hidup massa miskin. Proses eksploitasi mengakibatkan timbulnya pengalihan surplus nilai dari pihak pekerja atau massa rakyat kepada kelas diatasnya pada proses produksi, terutama para pemilik modal. Proses ini telah berjalan ratusan tahun di Indonesia akhirnya menimbulkan massa miskin yang praktis tidak mempunyai harta produktif atau aset lainnya yang dapat menimbulkan pendapatan. Faktor badaniah yang mereka punyai pun tidak layak disebut sebagai human capital. Faktor badaniah ini cenderung sebagai faktor yang tidak produktif. Akhirnya massa miskin sangat tergantung pada pemilik harta produktif, dan massa miskin cenderung menyerah sepehuhnya terhadap ‘kebaikan hati’ pemilik harta produktif.
Proses penyingkiran massa pekerja dari sistem produksi mengakibatkan pengangguran terbuka dan terselubung. Hal ini adalah komponen utama yang menimbulkan kemiskinan ditanggung bersama di antara mereka. Dua jenis pengangguaran ini mengakibatkan rasio ketergantungan (depedency ratio) yaitu perbandingan di antara penduduk aktif dan pasif menjadi tinggi. Di Indonesia, depedency ratio yang tinggi ini dialami oleh golongan miskin. Kemiskinan ditanggung bersama (shared proverty) dan depedency ratio yang tinggi, tidak terjadi di golongan lain. Dalam situasi inilah maka timbul lingkaran kemiskinan bersama-sama dalam lingkaran kelebihan. Lingkaran kemiskinan dapat diterangkan sebagai berikut : “oleh karena kemiskinan maka produktivitas dan pada gilirannya pendapatan menjadi rendah disebabkan kemiskinan membuat daya tawar maupun daya kerja lemah” oleh karena produktivitas atau pendapatan rendah maka kemiskinan timbul. Demikian seterusnya, lingkaran ini berjalan sehingga kemiskinan cenderung bertambah parah, tatkala keluarga miskin bertambah jumlahnya, dari waktu ke waktu.
Situasi kemiskinan yang ditanggung bersama tersebut sudah tidak dapat dikatakan menimbulkan keharmonisan di pedesaan, oleh karena kemiskinan yang ditanggung bersama ini hanya berjalan di kalangan massa miskin membuat kemiskinan melembaga sehingga menimbulkan kultur kemiskinan. Kultur kemiskinan di kalangan massa miskin ini membuat lingkaran kemiskinan merupakan a built-in vicious circle, sesustu lingkaran yang tak berujung yang ditumbuhkan dari dalam. Keadaan ini yaitu keadaan kultur miskin dan statis ini menimbulkan kesan bahwa massa miskin itu sebetulnya tidak ingin mengubah nasib mereka. Mereka pandang kemiskinan sebagai atribut permanen untuk mereka, sehingga mereka seringkali tidak tergerak, kenapa hal tersebut mesti dipersoalkan. Lingkaran kemiskinan yang parahpun seolah olah menjadi fenomena permanen. Bersama dengan itu masyarakat yang pasif menjadi fenomena yang permanen. Sebagai masyarakat yang tidak produktif mereka tidak mempunyai ambisi lagi dan statis gerakannya.
Sementara itu kalangan yang memiliki dan menguasai harta-harta produktif dan kesempatan-kesempatan atau fasilitas yang dapat menimbulkan pemilikan dan penguasaan harta-harta produktif mengalami lingkaran yang berlebihan. Pemilikan atau penguasaan harta-harta produktif menimbulkan kapasitas untuk memperoleh kesempatan untuk meraih pendapatan yang lebih tinggi. Dengan pendapatan yang lebih tinggi ini, selain konsumsi lebih tinggi dan baik kualitasnya, juga menimbulkan surplus yang akhirnya memperkokoh dan memperluas kepemilikan faktor-faktor produksi. Hal tersebut menimbulkan pemupukan human capital secara terus menerus pada kaum pemilik harta produktif, sehingga golongan miskin makin jauh tertinggal dan akan terus mengalami perlakuan semena-mena dari golongan kaya.

Gerakan Kebudayaan.
Kedalaman masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kehidupan sejumlah rakyat kita, menuntut perlunya pengembangan upaya-upaya yang dapat mempengaruhi perilaku pembentuk sitem dan tata nilai kemasyarakatan, bukan sekedar yang menyentuh arus atas kehidupan konkret saja. Persoalan ini artinya, tidak bisa ditangani hanya sebagai fenomena ekonomi,. Juga tidak bisa dip[andang sebagai urusan pemerintah dengan p[rogram pembangunan yang ada, sungguhpun untuk sebagian dari banyak hal bisa diupayakan. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dan atau gerakan perubahan kebudayaan.
Dalam hubungan ini, perlu dikembangkan upaya yang mengartikan gerakan kebudayaan sebagai keseluruhan upaya pengembangan swadaya masyarakat dalam mengatasi dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan, dalam kerangka proses belajar terus-menerus dan sesuai dengan pengalaman kesejahteraan serta peluang penerimaan masyarakat, ke arah transformasi perilaku aktual, struktur dan tata niali kemasyarakatan.
Pusat perhatian gerakan kebudayaan ditunjukkan pada pembentukan situasi dan pengalaman empiris masyarakat, melalui serangkaian kegiatan konkret dalam pengatasan dan pemenuhan minat, kebutuhan dan kepentingan aktual rakyat, bukan sekedar melalui gerakan retorik. Dengan kata lain, gerakan kebudayaan selalu diwarnai secara permanen oleh berbagai langkah-langkah kecil dalam skala masal dan tempo yang panjang, sedemikian rupa sehingga dapat berperan sebagai:
• Referensi hidup sehari-hari masyarakat.
• Selanjutnya akan ikut mewarnai peluang penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang lebih dinamis.
• Mempengaruhi pembentukan sistem struktur kemasyarakatan.
• Secara keseluruhan akan berpengaruh pada pembentukan tata nialai dan corak apresiasi keagamaan masyarakat ke arah yang lebih fungsional.
Gerakan kebudayaan, karena itu, bukan gerakan gegap gempita dalam mengumandangkan keyakinan, bukan pula sekedar penasehatan tentang apa yang di pandang benar. Ia adalah gerakan yang memihak pada kepentingan rakyat banyak, kaum duafa , dan langsung berwujud pelibatan dalam permasalahan aktual dan kecil-kecil dalam masyarakat, untuk mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan kehidupan. Ia pada hakikatnya adalah gerakan dakwah, karena dakwah berarti usaha untuk mengubah keadaan yang tidak baik menjadi yang baik dan lebih baik. Karena itu ia harus didasari pada moral agama. (Nb. Ini makalah saya saat diskusi mata kuliah ISD (Ilmu Sosial Dasar) di Fak. Sastra UNS, entah tahun berapa.. foto: Image Bank - unknow)

1 komentar:

Sukses Blogger mengatakan...

Manusia kebanyakan memang beribadah untuk mencapai surga Nya..tp sebaiknya kita jg sambil terus belajar agar ibadah kita IKHLAS untuk Allah atas segala nikmat yang telah diberkan kepada kita.